Ajaran Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT.
Kata “bekerja” mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.
Ajaran Islam, menyingkirkan semua
faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan berusaha
di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi
seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya.
Ajaran “tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap
pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan
sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah
hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya yang berbunyi, “Jika
kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan
memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang
terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan
pulang di sore hari dengan perut kenyang.”
Hadits di atas sebenarnya
menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus meninggalkan tempat
tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah
berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal
ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat
jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.
Dalam beberapa ayat di Al Qur’an,
Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan
diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah
Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat,
maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Hal ini menunjukkan bahwa Islam
menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi
keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk
memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: “Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari)
Islam juga mengajarkan bahwa
apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung
halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut
dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi
kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di
suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa berhijrah
di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah
yang luas dan rezeki yang banyak……” (QS. an-Nisa’:100)
Ajaran Islam, sangat memotivasi
seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk
meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum
penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus
didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana
hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta
harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis
bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim).
Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang
meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim,
bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.
Tindakan zalim terhadap hak
Rabbul’alamin artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk
kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya,
mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim
terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta
artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan,
ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi
permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memnuhi
permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol. Namun bila
tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim
terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri,
menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan
rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran,
ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada
orang lain.
Islam menuntun setiap orang untuk
mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun
kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai
sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan
mencukupi kebutuhannya.
Islam mengajarkan, bahwa semua
usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang
mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada
mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang
agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan
kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing
tanpa pegangan.
Masyarakat Islam, baik penguasa
maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk
menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan,
sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan
produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang
akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.
Umat Islam diminta bergandengtangan
menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya.
Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu
untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan
tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini
merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di
masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan
Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam
kehidupannya.
Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi kepada falah oriented,
yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, adalah
membangkitkan kembali semangat ukhuwah islamiyah di antara kita. Hal ini
merupakan tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang
peduli terhadap keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar
tidak tertinggal dan dapat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”
dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu kita sadari,
bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib kita tanpa kita sendiri
mengubah nasib kita, dan oleh karena itu kita harus menjaga dan
meningkatkan etos kerja kita agar kita tidak tertinggal oleh yang lain,
sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri………” (QS.13/ ar-Ra’d: 11)
0 comments:
Post a Comment